NINE PUZZLES REVIEW BAHASA INDONESIA

Selayaknya serial Korea yang sudah-sudah, Nine Puzzles punya rangkaian episode yang singkat. Ga perlu marathon sampe begadang cukup 1 episode per hari juga bisa cepet tamat, kok. Tapi gue ga yakin sih lu cuma nonton 1 episode per hari.

Nine Puzzles adalah serial misteri thriller Korea terbaru di Netflix. Hal pertama yang bikin gue langsung pengen nonton karena ada Kim Da Mi yang jadi pemeran utama. Pokoknya kalo ada Kim Da Mi-nya sekarang mau gue tamatin nontonnya. Kecuali Itaewon Class yang sampe hari ini masih belum gue tamatin heheheh.

Sinopsis serial Nine Puzzles

Jujur gue ga baca review manapun sebelum nonton serial ini. Jadi bener-bener minim informasi. Gue cuman tau Kim Da Mi yang main, udah. Ini kebiasaan jelek, jangan ditiru. Tapi kalo misalnya lu mau nyobain biar merasakan efek kejutan ketika nontonnya ya silakan.

Nine Puzzles mengisahkan seorang anak perempuan bernama Yoon Ena/Yun Ina (Kim Da Mi) yang merupakan keponakan kepala kepolisian kota. Pamannya dibunuh di rumah dan cuma Ena yang menjadi saksi sekaligus terduga tersangkanya, padahal Ena kala itu baru aja balik dari asrama sekolah.

10 tahun berselang, Ena sudah beranjak dewasa dan bekerja. Dia bekerja sebagai seorang profiler di kepolisian provinsi Seoul. Kemampuan analisis dan hipotesisnya, membuatnya menjadi salah satu letnan polisi potensial di kepolisian itu. Tapi, selama 10 tahun itu juga pembunuh pamannya belum pernah tertangkap.

Detektif yang pernah menyelediki pembunuhan paman Ena, Gim Han-saem (Son Seokgu) selama 10 tahun mencurigai Ena sebagai tersangka utama. Menurutnya, alibi Ena ketika terjadinya pembunuhan waktu itu ga kuat. 

Pada perjalanan serial ini, Ena dan Han-saem "dipaksa" bekerja sama memecahkan kasus pembunuhan berantai. Kasus yang ternyata masih punya hubungan dengan kematian pamannya 10 tahun yang lalu. 1 hal yang membuat Ena yakin satu kasus berkaitan dengan lainnya adalah puzzle. 

Puzzle yang menjadi penanda bahwa setiap kasus pembunuhan itu saling terkait. Ena menyimpulkan kasus ini adalah pembunuhan berantai. Sementara Han-saem tidak serta merta memercayainya. Namun pelan-pelan kita akan melihat bagaimana 2 orang ini akhirnya jadi tim yang solid.

Review serial Nine Puzzles

Buat gue, Nine Puzzles menyajikan tontonan yang beda dari genre mistery crime kebanyakan. Penonton diajak menebak-nebak di awal namun digiring ke petunjuk yang "salah". Bahkan dibuat percaya bahwa kalo tersangkanya memang 1 orang itu, tapi masih belum ketemu buktinya.

Sepanjang perjalanan Ina dan Han-saem menyelidiki kasus, selalu ada 2 sudut pandang. Ena yang kekeuh dari awal bilang kalo pelakunya memiliki beberapa ciri. Sementara Han-saem punya pandangan lain terkait tersangka utamanya.

Gue yakin pandangan penonton juga ikut terbelah. Antara setuju sama Han-saem atau sama Ena. Wajar banget, karena penontonpun ga dikasih tau pelaku sebenarnya siapa sampai di akhir episode.

Pace-nya agak lambat di episode-episode awal. Sampai gue mengira big reveal serial ini tuh ada di season 2. Gue udah siap banget menerima kenyataan melihat Kim Da Mi 11 episode lagi season depan. Tapi ternyata menuju ke akhir serial tu keliatannya kayak dicepet-cepetin gitu, loh.

Rasanya ga adil banget ngeliat pelaku yang dengan cermat memikirkan pembunuhan berantai cuman dikasih sedikit kesempatan. Menurut gue, harusnya pelaku punya keleluasan untuk menjelaskan apakah hipotesa Ena dan Han-saem terkait cara membunuh korbannya itu benar atau salah.

Karena sepanjang episode kita cuman dikasih hipotesa Ena dan Han-saem tiap kasus pembunuhannya. Tapi ketika udah ketemu pelaku sebenarnya, cuman sedikit klarifikasi yang keluar. Terutama, menurut gue yang penting, kenapa cara membunuhnya beda-beda?

Jujur gue kurang puas sama big reveal serial ini. Pelakunya layak dikasih apresiasi menjelaskan ide, rencana dan eksekusi korbannya secara lengkap. Kayak Sherlock Holmes menjelaskan "Lazarus Project"-nya itu, loh! Satisfying banget ngeliat penjelasannya karena memuaskan rasa penasaran penontonnya.

Ga kayak serial Sherlock Holmes Benedict Cumberbatch yang pake istilah cukup rumit. Penggunaan istilah dan dialog-dialog di serial ini cukup ringan. Meskipun begitu, bukan berarti serial ini bisa ditonton sama bocil. Karena ada banyak adegan yang cukup gore, tapi dalam batas aman.

Review karakter serial Nine Puzzles Netflix

Yun Ena bisa dibilang seorang profilier kepolisian yang jenius. Tapi masa lalunya yang kelam justru kontradiktif dengan pekerjaannya. Karakternya tetap jadi "manusia" yang ga sempurna. Dia bisa tau profil tersangka pembunuh pamannya, tapi ga bisa tau siapa orangnya.

Hampir setiap metode pembunuhan korban bisa dipecahkannya. Tapi anehnya Ena ga bisa ketemu sama pelakunya. Ibarat pepatah mengatakan, sejenius-jeniusnya Ena, masih kalah jenius pelakunya.

Han-saem di serial ini semacam "penyeimbang" dari karakter Ena. Ketika Ena kekeuh banget sama argumennya terhadap suatu kasus, Han-saem ngasih 2nd opinion. Perannya terlihat ga terlalu signifikan tapi ngaruh banget ke hipotesanya Ena. Kemampuan detektifnya ngebantu untuk mengisi detail kosong yang ga keliatan sama Ena.

Psikiater Lee Soung Joo (Park Gyu Young) yang jadi satu-satunya temen Ena punya karakter yang misterius. Keberadaannya menunjukkan teorinya Raditya Dika tentang cewe itu bener. Dia pernah bilang kalo cewe itu cuman bisa punya 2 dari 3 hal ini: cantik, pintar, dan waras. Lu nonton sendiri aja nanti mana yang ga ada.

Secara keseluruhan sih masing-masing karakter di serial ini saling mengisi satu dengan lainnya. Show stealer selain 2 karakter utamanya adalah si psikiaternya. 

Review keseluruhan

Menurut gue serial ini sebenarnya ga perlu ada season 2-nya. Karena semua misteri udah terpecahkan di season 1. Tidak ada hal yang dibikin menggantung atau semacam plot hole-nya. Gue sih mikirnya ga akan ada lagi milking yang bisa dilakuin terhadap serial ini.

Alur cerita yang maju-mundur cukup mudah dipahami. Karena terlihat jelas pembedanya, baik dari segi visual maupun juga dialog-dialognya. Jadi penonton ga bingung lagi nonton alur yang mana. Plot twist-nya juga lumayan oke untuk serial ini. Penonton dibuat kaget ketika tau apa yang sebenarnya terjadi.

Jumlah episode Nine Puzzles ini kayak "hilang" sebiji gitu. Karena menurut gue harusnya ada 1 porsi khusus untuk si tersangka melakukan klarifikasi. Serial ini memiliki kesan pengen buru-buru ditamatkan gitu. Padahal untuk porsi tersangkanya masih sedikit dan punya banyak cerita yang bisa digali.

Menurut keyakinan gue, serial Nine Puzzles layak dikasih nilai 4,0/5.

Awal Mula Kebiasaan Membaca Terbentuk

Ketika lagi ngumpul sama kawan-kawan book party beberapa waktu lalu, ada 1 pertanyaan yang menyadarkan gue. Gimana sih caranya biar jadi suka baca buku? Pertanyaan sederhana tapi bikin gue jadi balik lagi ke masa lalu. Mengingat dimana pertama kali gue suka membaca sesuatu?

Cara mudah membentuk kebiasaan membaca

Ingatan gue lalu terbang ke masa-masa SD dulu. Sewaktu ibu gue masih suka nungguin gue sekolah. Kala itu, selain suka nongkrong sesama orang tua murid yang lain, dia juga suka bawa bacaannya sendiri. Waktu itu era majalah/tabloid sedang jaya-jayanya. Hampir semua orang beli majalah, baca tabloid dan langganan koran. 

Ibu gue ga langganan, tapi hampir tiap kali ada edisi Tabloid NOVA terbit, dia beli. Selain beli buat dia sendiri, gue juga dibeliin bacaan khusus anak-anak: Majalah BOBO. Hampir setiap minggu majalah BOBO terbitan baru rilis selalu dibeliin. Dari sanalah kebiasaan membaca gue tumbuh.

Bahkan saking seringnya baca majalah itu, gue masih inget beberapa tokohnya. Macam kayak "Bibi Titi Teliti" (suka banget sama rimanya btw), Paman Kikuk Husin dan Asta, serta Bona dan Rong-Rong. Tokoh-tokoh yang menemani masa kecil gue untuk mulai tertarik membaca.


Buku yang sempat didokumentasikan waktu zaman kuliah

Dari majalah BOBO beranjak SMP gue mulai baca majalah remaja, dulu yang paling terkenal namanya FANTASY. Untungnya gue ga punya konsol gim macam PS atau nintendo. Karena dulu juga ada majalah khusus gaming, tapi karena ga punya konsolnya dan harganya mahal, jadi ga beli.

Sebenarnya majalah remaja waktu itu buat gue masih tergolong mahal juga, sih. Harus hemat uang jajan sekolah dulu baru bisa beli. Demi biar ga ketinggalan edisi terbarunya soalnya. Karna tiap edisi itu selalu ada bonusnya, mayoritas poster tokoh yang trending saat itu. Kadang kalo lagi ada edisi khusus bisa dapat gantungan kunci atau stiker dll.

Sementara ibu gue udah ga sesering itu lagi jajan majalah. Kebiasaan jajan bacaan diturunkan ke gue jadinya. 

Masuk SMA bacaan gue berubah lagi. Karena suka banget sama sepak bola, gue jadi sering beli bacaan tentang sepak bola. Dulu ada tabloid SOCCER yang terbit tiap Sabtu. Hampir tiap minggu, setiap pulang sekolah beli di pedagang koran favorit gue. Kadang kalo dia lagi ga ambil stoknya, gue harus beli agak jauh dari rumah.

Tabloid ini yang paling intens dan rutin belinya. Bahkan meskipun ketinggalan edisi sebelumnya, gue bakalan cari sampe dapet. Soalnya setiap edisi bonusnya poster-poster pemain bola semua. Bahkan ada beberapa yang gue pajang di kamar karena poster pemain favorit waktu itu.

Bahkan gue pernah beli edisi khususnya beberapa kali. Cetakan yang pake kertas licin dan cover kayak majalah mahal itu. Gue udah lupa berapa harganya dan lupa juga dimana majalah itu sekarang.

Dulu di tempat kami, pernah ada masanya mati lampu setiap hari. Ada yang terjadwal, ada juga yang mendadak mati. Rasanya sungguh aneh, tinggal di pulau yang memiliki kekayaan tambang melimpah dan menjadi bahan bakar utama PLTU: batu bara, justru paling sering mati lampu. Dalihnya kala itu adalah pemeliharaan.

Anyway, pada masa itu, kami bertiga akan berkumpul di ruang tengah. Sambil ditemani lampu minyak dan lilin kecil, kami bercengkrama. Kadang ngobrol ngalor ngidul, kadang becanda, kadang diem-dieman aja. 

Beberapa momen yang gue ingat kala itu adalah: membaca kamus dan bermain tebak-tebakan artinya sama Ibu dan Bapak gue. Pada momen yang lain gue ingat main scrabble bermodalkan kamus Inggris-Indonesia punya Bapak. Entah dimana kamus yang tebelnya kayak bantal hotel itu sekarang.

Kalo bukan karena mereka yang support  semuanya, mungkin minat dan kebiasaan membaca gue ga sekonsisten sekarang. Tapi gue ga pernah ngerti bacaan Bapak gue, karena bukunya tema programming semua. Untungnya Bapak juga ga maksa  gue untuk suka sama buku itu.

Andai ga ada masa mati lampu kayak gitu, mungkin ga akan ada kenangan yang bisa gue ceritain di sini. Kalo ga ada masa mati lampu itu, mungkin minat membaca gue ga setinggi sekarang.

Waktu kuliah bacaan gue berubah lagi. Karena pada waktu itu ketemu pasangan yang sama-sama suka baca buku, mayoritas bacaan gue terpengaruh dari dia. Gue jadi lebih sering baca novel dari penulis-penulis Indonesia.

Meskipun uang saku zaman kuliah ga banyak-banyak banget, kadang sering gue pake untuk beli buku. Apalagi zaman itu ada toko buku yang sering ngadain bazaar buku murah. Dari penerbit yang memang terkenal juga, makin kalap gue belanja bukunya.

Pada akhirnya, zaman kuliah itu gue lumayan banyak mengoleksi buku baru tapi yang dibaca sedikit. Bahkan antrian bacaannya masih panjang sampai sekarang. Jadi merasa bersalah karena beli bukunya doang tapi ga dibaca-baca.

Kayaknya memang perlu atur jadwal khusus untuk baca. Soalnya tahun 2025 ini masih kurang produktif baca bukunya. Terlihat dari jumlah buku yang sudah ditamatkan membaca baru ada 3 waktu artikel ini ditulis. Mungkin karena banyak buku yang masih on going dibaca sampai hari ini.

Waktu kuliah mulai ngumpulin buku novel dicampur sama non-fiksi juga. Gue mulai ngeliat novel agak kurang produktif buat dibaca. Pengennya baca sekalian dapat "sesuatu" yang lebih praktikal gitu. Tapi ga pengen yang berat-berat juga bacaannya.

Ketika udah mulai kerja, mulai cari-cari buku non fiksi aja, jarang beli novel. Akhirnya sekarang koleksi buku gue lebih banyak tentang self development dan biografi tokoh-tokoh nasional ataupun internasional. Gue jadi lebih seneng bacanya, karena lebih punya kedekatan langsung sama tokoh yang lebih nyata.

Cara mudah menumbuhkan minat baca

Lalu ketika ada pertanyaan: gimana cara mudah menumbuhkan minat baca? Jawaban gue akan berdasarkan pengalaman pribadi. Mulai membaca dari buku yang lu suka dulu. Entah dari judul, cover atau rekomendasi dari temen. 

Menurut gue akan lebih mudah nanya ke temen yang udah banyak baca buku. Dia mungkin lebih bisa ngasih rekomendasi buku yang bisa lu baca pertama kali. Bilang aja lu suka kalo bacaannya itu "begini begini, ada A, B, C, D-nya dll dkk". Kalo udah tergambar dengan jelas, mungkin aja dia punya 1 judul yang disebutin.

Meskipun gue udah mulai membaca dari SD, bukan berarti minat membaca yang dimulai dari SMA dikatakan terlambat. Idealnya memang minat baca dipupuk sejak kecil agar terbiasa. Tapi kalo lu baru mulai pas SMA atau kuliah menurut gue juga ga masalah.

Menurut keyakinan gue, ga ada kata terlambat untuk belajar. Termasuk belajar untuk menyukai membaca buku. Meskipun niatnya hanya untuk mengisi waktu, ga masalah. Yang penting lu udah punya niat untuk bisa menyukai membaca buku. Karena niat yang dimulai dari dalam diri akan lebih kuat dasarnya daripada paksaan dari luar.

Mulai dari durasi yang pendek-pendek dulu. Misalnya 10 menit sehari atau 10 halaman per hari udah cukup. Nanti lama-lama 10 menit/10 halaman itu akan terasa "sebentar" dan lu akan nambahin sendiri durasinya. Pelan-pelan juga nambahin durasinya, jangan langsung banyak. Takut kaget trus lu jadi ga minat baca lagi.

Kalo durasinya udah bisa panjang, ditambah lagi targetnya dalam setaun bisa namatin berapa buku misalnya. Jangan banyak-banyak, misalnya 6 buku dulu aja setahun menurut gue udah bagus. Tapi kalo lu pede sama kemampuan baca lu, silakan ditambah jumlahnya.

Semoga setelah membaca tulisan ini, bisa membangkitkan minat baca lu. Kalo tulisan ini masih belum bisa meningkatkan minat baca lu, kasih tau gue di kolom komentar, ya! Kritik, saran, dan masukan lu sangat berarti untuk membuat tulisan di blog ini jadi lebih baik lagi ke depannya.

Cerita dadakan ke Jakarta: Hari Ketiga dan Keempat

Cerita dadakan ke Jakarta adalah sebuah cerita perjalanan yang sebetulnya ga direncanakan. Mengisahkan perjalanan ke Jakarta sama orang tua gue di bulan Juli 2025 lalu. Pengalaman perjalanan ke Jakarta sama orang tua untuk pertama kalinya sejak terakhir kali kami jalan-jalan bareng di tahun yang bahkan gue udah lupa kapan.

Hari ketiga di Jakarta pada bulan Juni dibuka dengan bangun telat (lagi). Penyebabnya masih sama kayak di hari-hari sebelumnya. Padahal hari ini tuh rencananya mau CFD-an ke Bundaran HI. Setelah punya cukup tenaga untuk bersiap CFD-an, kami akhirnya berangkat.

Biar cepet sampai, naik MRT dari Blok M menuju Bundaran HI. Mau CFD harusnya ga usah sarapan dulu. Tapi karena bawa Bapa, yang ga terbiasa CFD-an, daripada dia tantrum mending sarapan dulu. Keluar dari stasiun MRT kami melipir dikit ke samping mall P.I. untuk sarapan bubur ayam di sana.

Kami tiba di lokasi CFD sudah agak terlambat. Karena begitu selesai sarapan, CFD-nya hanya tinggal 15 menitan doang. Akhirnya gue sama ibu cuman keliling bundaran HI dan foto-foto di sana doang. Harusnya bisa lebih lama kalo misalnya berangkatnya lebih pagi dikit.

Setelah puas ber-CFD ria, kami melanjutkan tujuan ke... Pasar Tanah Abang. Tidak lain tidak bukan tujuannya belanja, dong! Ini lebih cape daripada CFD-an! Karena hampir semua lantai di Blok B Tanah Abang dijelajahi. Untungnya ada beberapa lantai yang tokonya lebih banyak tutup. Kalo gue nyalain Strava kayaknya udah lebih dari 3 kilo itu jalan kakinya.

Setelah lelah menjelajahi Tanah Abang, kami mencoba street food di Blok B Tanah Abang. Makan nasi campur doang, ga aneh-aneh juga. Habis makan kami coba mampir ke ITC Mangga dua sebentar sebelum akhirnya balik ke hotel.

Waktu mau balik ke hotel diwarnai dengan drama salah naik kereta. Bapa gue sampe udah bete karena badannya udah cape dan agak basah karena kehujanan. Ya gimana? Namanya juga bukan warlok, kalo nyasar ada wajar-wajarnya ga sih? Padahal gue udah bermodal google maps, yang biasanya jarang bikin nyasar.

Setelah drama salah naik kereta, akhirnya kami bisa balik ke hotel dengan aman sentosa. Sebelum bener-bener istirahat, gue nyempetin untuk mampir ke Gramedia Jalma sama ibu. Kalo ngeliat di Google Maps sih cuman sekilo, jadilah kami berdua jalan kaki dari hotel ke sana.

Untungnya udah ga hujan lagi tapi jalanan rada basah. Gue memutuskan untuk pake sendal jepit aja daripada besok pake sepatu basah. Cuman perlu sekitar 15 menit jalan kaki, kami berdua nyampe di Gramedia Jalma. Lebih lengkapnya akan gue bikin tulisan khusus untuk tempat ini.

Setelah puas berkeliling dan baca-baca buku gratis di sana, gue dan Ibu balik dengan membeli 1 buah buku yang sebelumnya dibaca sama Ibu. Hitung-hitung biar dia juga tertarik baca buku lagi, daripada baca novel daring melulu.

Setelah itu kami kembali ke hotel dan akhirnya bisa istirahat untuk persiapan pulang.

Hari keempat

Tiba di hari menyebalkan saat liburan: pulang! Sebenarnya bukan benci sama rumahnya, tapi lebih ga suka packing-nya. Kalo ada orang yang mau dibayar buat ngerjain hal ini, gue bayar deh beneran! Nyusun-nyusun barang di dalam tas yang bikin males.

Tapi biar gimanapun ribetnya packing, gue tetep harus pulang. Karena memang tujuan ke sini buat jalan-jalan, bukan nyari kerjaan. Padahal sempet berkhayal kalo misalnya jalan-jalan ini bisa "dirapel" sama agenda interview di perusahaan Jakarta, sih asik kali ya? Tapi sepertinya masih belum ada yang nyantol sejauh ini.

Hari ini langit lumayan cerah, cenderung berlebihan panasnya menurut gue. Pagi-pagi kami cari sarapan aja udah berasa terik banget langitnya. Gapapa lah itung-itung biar dapet sinar matahari pagi gratisan.

Karena gue pilih penerbangan yang sore, jadi kami masih punya sedikit waktu untuk beberapa agenda. Ibu yang penasaran pengen dapetin body lotion gratisan di Taman Literasi akhirnya kesampaian juga dapetin bendanya. Setelah itu kami berdua berangkat lagi ke Pasar Tanah Abang untuk nyari-nyari baju yang kemaren belum sempat beli dan cari tas gede untuk bawa barang.

Lu liat kan? Hari terakhir aja masih sempet-sempetnya ke Tanah Abang buat belanja! Saking gamau ruginya beliau mumpung ke Jakarta. Kalo lu nanya bapa dimana? Dia lagi di kamar hotel packing barang biar muat dalam 1 koper.

Waktu datang hari pertama kemaren kami naik bus damri, pulang kali ini kami mau naik mobil daring. Ternyata secara hitung-hitungan justru lebih murah naik mobil daring. Karena kalo naik DAMRI itu bayar 80ribu per orang, total 240ribu. Tapi kalo naik mobil daring, dari hotel langsung depan bandaranya "cuman" 160ribu udah sama tol. Jauh lebih murah ternyata!

Maklum aja, selama ini gue jalan-jalan sendirian mulu. Menurut gue lebih murah naik itu daripada naik mobil daring. Ternyata kalo bawa rombongan, justru lebih murah naik mobil daring! Yah, anggaplah ini pengalaman baru, biar ke depannya bisa dievaluasi dan lebih baik lagi itinerary-nya.

Jadwal penerbangan kami sebenarnya jam 6 sore. Tapi kami udah nyampe bandara Soetta sekitar jam 4 sore. Ini kebiasaan bapa gue yang kalo mau berangkat naik pesawat selalu wajib kudu harus tiba di bandara 2 jam sebelumnya. Gue juga ikut-ikutan kayak begitu juga sekarang.

Gue rasa tiba di bandara 2 jam sebelum boarding adalah tindakan yang cukup tepat. Apalagi mengingat Terminal 3 Soetta ini luasnya ga kira-kira. Untungnya kami dapat gate yang "baik", gate 17. Gue pernah di Terminal 3 dapet gate jahat: gate 28! Udah mah diujung sono, jalan kaki pula! Kalo nyalain Strava sih kayaknya nyampe 1 kilo dari pintu keberangkatan.

Selama nunggu di bandara ga banyak yang kami lakukan selain ngobrol, baca buku dan menikmati suasananya. Gue sempat khawatir bakalan hujan lagi kayak kemaren, ternyata sampe pulang cerah. Rangkaian perjalanan kamipun akhirnya berakhir ketika sudah sampai rumah.


The Blacklist Review Bahasa Indonesia

The Blacklist adalah serial televisi yang akhirnya berhasil gue tamatkan setelah sekian lama. Gue udah ngikutin serial ini sejak tahun 2013-an. Serial ini sebenarnya sudah tamat sejak 13 Juni 2023 lalu. Akhirnya bisa gue tamatkan di Netflix setelah 2 tahun terlewat. Alasannya karena sibuk kuliah + ga ada waktu buat nontonnya juga.

review serial the blacklist

Padahal ada banyak serial yang gue tamatkan sebelum bisa nonton The Blacklist ini mwehehehe! Emang ga ada waktunya aja, sih. Soalnya panjang banget sampe 10 season dan ga mungkin bisa ditonton dalam 1 kali periode doang. Harus dicicil satu-satu sampe habis ke episode terakhir.

Dari sekian banyak serial yang gue tonton, menurut gue The Blacklist salah satu serial yang anti-klimaks di ujungnya. Tapi meskipun begitu, justru ada pesan kuat buat penontonnya. Nanti gue kasih tau.

Sinopsis The Blacklist

Sederhananya The Blacklist menceritakan seorang buronan nomor 1 FBI -bernama Raymond Reddington (biasa dipanggil Red)- yang secara "sukarela" menyerahkan dirinya ke FBI. Namun ternyata penyerahan dirinya ini memiliki kepentingan lain. Yaiyalah! Mana ada penjahat nomor 1 FBI menyerahkan diri gitu aja tanpa ada syaratnya?

Elizabeth Keen The Blacklist

Red (diperankan oleh James Spader) menyerahkan diri tapi dia ga mau ditahan, sebagai "imbalannya" dia bakalan ngasih tau "Daftar Hitam" penjahat-penjahat  yang selama ini diburu sama FBI. Selain itu juga, dia cuman mau bekerjasama dengan 1 agen FBI bernama, Elizabeth Keen (Megan Boone).

Awalnya Keen ga tau kenapa dia yang dipilih sama Red untuk kerjasama. Padahal Keen ga pernah nanganin kasusnya Red, bahkan baru pertama kali ketemu dia. Tapi Red justru tau sama anak ini. Kok bisa? Disinilah inti serial ini sebenarnya.

Keen ga sendirian, dia dibantu satgas yang support kerjaannya bersama Red. Begitupun dengan Red, dia juga punya timnya sendiri. Anehnya, Red bisa merahasiakan timnya ini ke FBI tapi FBI ga bisa merahasiakan apapun ke dia. FBI kayak berada dalam kuasanya  gitu.

The Blacklist ga cuma menceritakan tentang penangkapan penjahat buronan FBI. Serial ini juga membongkar misteri hubungan Red dengan Keen lapisan demi lapisan. Bagaimana jejaring kejahatan Red ini bisa terhubung satu dengan yang lainnya dan mengaraha kepada Keen diceritain di serial ini.

Review The Blacklist

2 karakter utama serial The Blacklist ini awalnya sangat bertolak belakang. Red yang berada di dunia kejahatan seumur hidup harus berpartnet dengan Keen. Elizabeth Keen sendiri sebenarnya rookie di FBI, dia baru lulus akademi dan langsung terjun ke lapangan berhadapan dengan penjahat nomor 1 di Bumi.

James Spader The Blacklist

Season awal tu semacam kayak perkenalan setiap karakter yang akan terlibat di serial ini. Tapi pelan-pelan juga disisipin petunjuk sebenarnya Red dan Keen ini siapa. Petunjuk yang dikasih tau itu bener-bener sedikit banget sekali. Jadi penonton tu ga bisa bener-bener tau petunjuk ini tuh buat siapa/apa kalo ga nonton kelanjutannya.

Setelah beberapa season berjalan, pengembangan karakter utamanya mulai terlihat. Keen yang awalnya sangat idealis terhadap dunia kejahatan, mulai melihat dunia "seberang" sebagai hal yang normal. Pengaruh bekerjasama dengan Red begitu besar sampe akhirnya mengaburkan keputusannya setiap kali berhadapan masalah.

Red, mau seberapapun kuatnya melarang Keen untuk "menyebrang" ke dunianya, tetap ga punya kendali terhadap Keen. Wanita ini punya prinsipnya sendiri dan tidak mudah dipengaruhi orang lain. Meskipun gue yakin mindset Keen bergeser dari dunia putih ke hitam juga gara-gara Red.

Bayangin aja selama lebih dari 10 tahun kerjasama dengan penjahat. Mau sekuat apapun mindset lu, kalo terpapar sama pemikiran buronan nomor 1 tiap hari, pasti goyah juga. 

Buat gue sih perkembangan karakter serial ini tergolong lambat dan ga terlalu signifikan keliatan di serialnya. Mungkin secara fisik dan materiil ga keliatan. Tapi justru dari sisi mindset dan prinsip dari karakternya malah keliatan berbeda dari season 1 ke 10. Hampir semua karakternya jadi "menyebrang" ke dunia yang lain.

Ini menunjukkan sisi manusia yang sesungguhnya. Bahwa manusia pada akhirnya cepat/lambat akan berubah sesuai dengan lingkungannya. Sekuat apapun punya mindset, kalo memang terpapar secara kuat dan setiap hari, mau ga mau akan bergeser juga. Mungkin dari sisi materiil/fisik ga terlihat, tapi dari sisi pemikiran akan terbaca.

Beberapa season menjelang akhir, karakter Keen akhirnya "dimatikan". Ada yang bilang ga sepakat soal kontrak, ada yang bilang Megan Boone mau ngejar kesempatan yang lain. Intinya Keen ga "menemani" Red sampe akhir. 

Kayaknya sih harapan gue ketinggian sama serial ini. Soalnya dari awal menjanjikan sesuatu banget ceritanya. Penuh misteri, puzzle yang kompleks dan set karakternya yang punya backstory  cuman seuprit dikasih taunya. Gue berharapnya serial ini punya big reveal yang mengejutkan.

Tapi memandang POV dari sisi yang lain, kayaknya si sutradara pengen ngasih liat sisi manusianya Red. Karena dari season awal sampe menjelang akhir terlihat sangat over power. Sangat untouchable sama pihak berwajib dan licin banget escape plan-nya. Bahkan satgas Keen aja ga pernah tau rencana kaburnya Red. Gila ga?

Satu momen yang paling epic menurut gue adalah ketika dia ditangkap dan harus menjalani sidang di pengadilan. Red bingung banget siapa orang yang bisa nangkap dia? Dia yakin banget jejaringnya udah ngecover semua instansi, ga mungkin ada info yang ga dia tau.

The Blacklist

Ketika dia ditangkep mau ga mau harus disidang. Dari sinilah dia makin keliatan over power, dia ga mau ditemenin sama pengacara. Alias dia sendiri yang mewakilkan dirinya untuk membela diri, gokil! Gue amaze banget pas scene ini, dia bener-bener punya argumen kuat dan meyakinkan di depan hakim.

Gara-gara skill passive Red ini gue malah terinspirasi untuk bisa kayak dia wahahahak! Maksudnya bukan lolos ngakalin aturan, ya. Tapi dalam arti punya jejaring yang luas gitu, jadi ga gampang ditipu sama orang.

Karena menurut gue, kalo udah punya duit yang unlimited kayak si Red ini, langkah berikutnya adalah punya networking yang unlimited juga. Reymond Reddington adalah representasi paling pas untuk menggambarkan seseorang yang punya uang dan kekuasaan sekaligus.

Orang bermental miskin menganggap punya banyak uang adalah tujuan akhir. Padahal percuma kalo punya duit tapi ga punya power. Tetap bakalan dimanfaatin juga sama yang berkuasa. Tapi ketika lu punya duit dan kekuasaan, lu akan jadi untouchable. Itulah yang dicari sama orang-orang kaya yang jadi caleg di pemerintahan.

Pesan moral(?)

Sebenarnya ending The Blacklist di season 10 buat gue semacam anti-klimaks. Semua kekuatan Red dispill, tapi untuk dihancurkan. Sampai di episode terakhir, Raymond akhirnya bener-bener "sendirian".

Ending yang sangat bertentangan dengan seluruh epidsode sebelumnya. Sosok Red yang digambarkan begitu powerfull dan resourcefull, sangat untouchable, pada akhir perjalanannya malah sendirian.

Mungkin aja penulis ceritanya kepengen ngasih tau kalo orang sekuat Red ternyata pada akhirnya tetap sendiri. Mau lu punya uang sebanyak apapun, kekuasaan sebesar apapun, kenyataannya lu tetap sendirian di dunia ini.

Harta yang banyak akhir lu tinggalkan kepada mereka yang masih hidup. Kekuasaan yang lu punya ga ada artinya ketika udah habis masanya, ga ada artinya. Semua yang lu miliki, pada akhirnya akan lu tinggalkan juga.

Pesan moral yang dalam banget dari sebuah serial buronan kelas kakap. Menurut gue ending ga harus kayak begini. Mungkin bisa lebih elegan dan sedikit lebih happy ending. Tapi sosok Raymond Reddington bukanlah pahlawan, dia villain untuk masyarakat. Dia memang sudah seharusnya berakhir sad ending.

Overall

Sebagai tonton serial kejahatan tontonannya cukup menghibur. Adegan kekerasannya bisa dibilang masih soft. Adegan dewasanya juga ga terlalu vulgar, tapi tetap untuk tontonan 17 tahun ke atas aja, ya. 

Menurut gue The Blacklist layak dapat skor 8/10, meskipun di 3 season terakhir agak-agak drop kualitas ceritanya. Lu bisa nonton serial The Blacklist di Netflix, ya!

PANDJI PRAGIWAKSONO MENS REA JAKARTA 2025

Mens Rea standup comedy special-nya Pandji Pragiwaksono adalah acara yang gue tunggu-tunggu sejak tahun 2024, akhirnya terlaksana juga. Hype-nya udah dibangun sejak setahun sebelumnya sampe ke hari H di tanggal 30 Agustus 2025. Soal marketing dan branding sih Pandji Pragiwaksono udah ga diragukan lagi. Gue banyak belajar dari dia 2 hal ini.

review mens rea jakarta

Gue beli tiket kelas diamond pada periode pre-sale atau istilah di inner circle-nya Bang Pandji: Periode Wongsoyudan. Periode ini merupakan saat tepat untuk membeli tiket special show Pandji pada harga paling murah. Tapi harus war 1 tahun lebih dulu sebelum hari H.

FYI, tiket kelas diamond adalah tiket dengan posisi tempat duduk paling depat dekat panggung. Selain itu, pemegang tiket Mens Rea kelas diamond juga punya akses eksklusif ke Comika Lounge. Lounge yang khusus disediakan untuk bisa berinteraksi langsung sama Bang Pandji dan foto-foto bareng sama dia sebelum acara.

Sebenarnya mengamankan tiket diamond ini sebagai bentuk evaluasi dari konser sebelumnya. Waktu nonton konser Avenged Sevenfold gue milih tiket yang ada tempat duduknya. Kalo diliat dari denah tu deket sama panggung, ternyata ga sedekat itu. Padahal harga tiketnya nomer 2 paling mahal.

Gue ga banyak nonton standup special, cuman komika tertentu dan emang lagi ga sibuk aja baru nontonin. Pandji memang salah satu komika yang gue tunggu sejak lama. Dia jarang banget mampir ke Banjarmasin, eh pas dia mampir waktu tur Komoidoimenoi gue yang ga bisa nonton!

Makanya ketika Mens Rea ga mampir Banjarmasin, gue yang nyamperin dia ke Indonesia Arena. Sekalian jalan-jalan juga, daripada sumpek kerja mulu dan emang lagi ada budgetnya juga. Buat gue nonton bang Pandji ga akan mengecewakan karena dia juga punya standar yang tinggi kalo bikin sesuatu.

Mens Rea standup special ini sebenarnya ga cuman pertunjukkan standup aja. Tapi lebih ke comedy experience. Meskipun pertunjukkan utamanya baru dimulai 19.00 WIB, tapi area sekitar venue-nya dibuka dari jam 11.00 WIB. Ngapain dari siang di sana? Ada banyak aktivasi yang bisa dijelajahi dari para sponsor dan partner pertunjukkan ini.

Salah satu fasilitas utamanya karena banyaknya tenant makanan dan minuman. Ga takut kelaparan/kehausan meskipun datangnya dari siang. Fasilitas lainnya yang bisa dinikmati ada musholla yang tersedia hampir di setiap lantai. Ada juga tempat leyeh-leyeh sambil nunggu acara utamanya kayak di "Bioskop Comika".

Opener Mens Rea

Mens Rea Jakarta membawa 2 komika pembuka: Ben Dhanio dan Dany Beler. Ben Dhanio merupakan komika yang memenangkan audisi opener lokal Mens Rea Jakarta. Kalo Dany Beler merupakan opener nasional Mens Rea Jakarta. 2 orang ini yang membuka show spesialnya Bang Pandji masing-masing sekitar 10-15 menitan.

Gue salah satu yang suka sama penulisannya Bang Dany. Rapi banget materinya trus relevan juga sama keadaan mayoritas penontonnya. Salah satu komika spesialis korporat ini udah ga diragukan lagi performanya. Memang ga salah beliau ditunjuk jadi opener nasional Mens Rea finale.

Para opener tur mens rea dan opener nasional Danny Beler

Gue baru liat langsung Ben Dhanio di show kali ini. Materinya terbilang cukup "berani" ngebahas hal yang sensitif. Sayangnya durasinya menurut gue agak tanggung, kurang lama dikit. Mas Ben bentar lagi juga punya spesialnya sendiri, udah pantas menurut gue.

Overall, 2 opener Mens Rea Jakarta memuaskan banget. 2 orang yang memang layak berada di Indonesia Arena. Dua-duanya punya materi yang "belang", jadi penonton dikasih suguhan yang beragam. 3 orang, dengan 3 kepribadian yang berbeda, penonton dapat semuanya.

Mens Rea Pandji Pragiwaksono

Pandji selalu bilang di setiap promo Mens Rea materinya 100% tentang politik. Buat orang yang ga ngerti politik, bakalan ngerti politik, buat yang udah paham jadi makin melek sama politik. Ga harus paham politik untuk nonton Mens Rea.

Materinya Mens Rea itu bukan cuma tentang politiik. Buat gue Mens Rea itu kayak "nampar" masyarakat Indonesia bahwa kita ini masih "goblok" berpolitik. Makanya menurut keyakinan gue, wakil rakyat yang dipilih, trus pemimpin-pemimpin daerah yang dipilih juga rata-rata pada.... ya gitu.

Kita tuh dibikin sadar kalo orang-orang di DPR dan pejabat pemerintahan yang ada sekarang, datangnya ya dari kita juga. Materi Mens Rea menyadarkan bahwa kita, masyarakat Indonesia, adalah kunci dari pemerintahan yang baik. Ga mungkin ada orang goblok yang jadi wakil rakyat kalo ga dipilih sama rakyat.

Jadi, anggota DPR yang ada di Senayan itu datangnya dari kita juga yang milih mereka. Kalo kita bilang dia bodoh, ya karena kita-kita yang bodoh ini juga yang milih dia awalnya. Anggota DPR kan dipilih sama rakyat, sama kita-kita, bukan sama partainya.

Makanya gausah kaget kalo ada anggota DPR/kepala daerah yang ngomongnya ngaco. Karena dia dipilih sama lu lu pada, bukan tiba-tiba ada di posisi itu. Kalo lu mau pemerinttahnya baik, lu juga harus milih orang yang baik.

Gue hampir ga percaya ini, tapi di Mens Rea kami diajarain cara milih pejabat. Menurut gue, hal kayak gini ga perlu dikasih tau, kalo masyarakatnya pinter. Sayangnya masih banyak yang goblok sampe yang wajib begini harus dikasih tau segala.

Padahal masyarakat itu tau gimana caranya milih jodoh, ada 3 kriteria: bibit, bebet bobot. Tapi kalo milih pejabat kok malah milih yang ganteng lah, yang keliatannya baik lah (meskipun baik beneran tapi kan ga make sense), bahkan habis milih orangnya kita lupa namanya.

Kalo milih jodoh aja ada 3 kriteria, masa milih pejabat kriterianya cuman 1? Itu aja udah aneh, makanya yang terpilih kebanyakan aneh-aneh kelakuannya, kan?

Meskipun dibilang materinya 100% ngebahas politik, tapi kalo menurut gue Mens Rea punya 2 tema besar yang dibahas. Tema pertama sudah jelas politik, tema kedua adalah kesehatan mental. Ketika lu baca kesehatan mental, pasti kebayangnya berat banget pembahasan ini. Gue pastikan Pandji membawakan materi kesehatan mental dengan ringan dan gampang dimengerti.

Materi perihal kesehatan mental ga nyangka bisa bikin penonton jadi sing a long. Setidaknya ada 10.000 penonton yang nyanyi bareng, padahal ini lagi stand up, kok bisa? 

Materi Mens Rea

Sejujurnya gue berharap materi Mens Rea jauh lebih berat daripada ini. Pengennya seberat materi Mesakke Bangsaku yang pemilihan topiknya antimainstream. Mens Rea justru memberikan materi yang menurut gue ringan. Mungkin karena pengennya mengedukasi orang-orang yang baru melek dunia politik.

Bit demi bit yang dilontarkan targetnya bukanlah nama yang disebut sama Bang Pandji. Justru target utamanya adalah orang-orang yang memilih anggota dewan itu. Mayoritas bit dan materinya adalah edukasi ke pemilihnya, meskipun ada juga kritik tentang kebijakan pemerintah.

Mungkin ekspektasi gue yang ketinggian, karena ini seorang Pandji yang udah punya 10 spesial show. Gue tuh ngebayangin Pandji ngebahas kebijakan-kebijakan politik yang ga berdampak ke masyarakat, tapi berdampak ke golongan tertentu aja. Tapi gue lupa, Mens Rea targetnya bukan politisinya, tapi pemilihnya.

Soalnya yang bikin kebijakannya aneh-aneh tu politisinya. Politisi dipilih sama siapa? Ya masyarakat juga, kan? Wajar banget yang digoyang tu mindset pemilihnya, bukan yang dipilih. Karena kuncinya ada di masyarakat pemilihnya.

Percuma bikin politisi cerdas kalo memang aslinya udah ga jelas duluan. Lebih baik bikin masyarakatnya cerdas dulu, biar milihnya juga ga ngasal. Mens Rea mengajarkan masyarakat untuk lebih cerdas dan kritis terhadap politisi, terutama sama yang kita pilih.

Selain cerdas memilih politisi, kita juga harus tau kalo kesehatan mental sama pentingnya kayak kesehatan fisik. Pandji memberi highlight kalo selama ini penanganan masalah kesehatan sering tertukar. Masalah mental diselesaikan secara spiritual (stress dengan ruqiyah). Masalah fisik diselesaikan secara mental.

Karenanya kita perlu melakukan identifikasi awal masalah kesehatan yang dihadapi. Apakah ini fisik, mental atau spiritual? Agar bisa ditangani dengan tepat dan lebih cepet selesai juga. Gue juga baru tau di Mens Rea kalo ternyata ke psikolog itu ditanggung BPJS asal di Puskes sekitar lu ada psikolognya. Kalo ga ada, coba ajukan permintaan pengadaan psikolog.

Bit favorit gue ketika Bang Pandji ngasih easter egg dengan membawakan salah 1 bit legendarisnya. Bit yang masih tetap lucu meskipun udah 10 tahun dibawain. Itu bit cuman buat orang-orang yang udah ngikutin dia dari lama. Buat yang FOMO baru ngikutin dia ga akan relate sama bit itu.

Bit terapis anjing buat gue juga memorable. Karena ini materi yang "sangat Pandji", bit yang aneh, absurd dan sama sekali ga ketebak wahahaha! Bahkan ada bit lain yang polanya sejenis kayak begini, dia lagi ngelist nama-nama pejabat jadul tau-tau malah selebrasi gol, dong! Kaget dan random banget wahahahak!

Orang-orang taunya Pandji bisa bikin materi dengan topik yang berat jadi ringan. Tapi pola bit sejenis macam terapis anjing ini, selalu ada di setiap spesial shownya Pandji. Buat orang lain mungkin ini bit yang aneh, tapi memang bang Pandji doyang banget ngerjain penontonnya kayak begini.

Overall

Kalo udah ada digital streaming-nya, gue sarankan lu untuk nonton. Mau lu ga ngerti politik, ngerti politik dikit, atau terlibat di dunia politik atau bahkan ga mau tau soal politik, nonton aja. Kalo ga ngerti materi politiknya, minimal lu bakalan ngerti materi kesehatan mentalnya.

Buat gue sih, materi Mens Rea lebih ringan daripada materi Mesakke Bangsaku yang pernah gue tonton DVD-nya. Cocok buat lu yang pertama kali nonton Pandji dan kepengen tau gimana sih standup comedy itu?

Kalo lu sendiri, pernah nonton standup spesialnya siapa? Ceritain dong di kolom komentar!

Seedbacklink