Udah lama banget mau bahas ini, tapi bingung mau mulai darimana. Saya kepikiran mau bahas ini ketika baca-baca komen member di trit suatu forum tentang tv series "The "Flash". Kalo kalian belum tau The Flash saya ceritakan sedikit ya. The Flash adalah superhero yang mempunyai kekuatan berlari dengan kecepatan super, tv series ini menceritakan tentang awal mula The Flash mendapatkan kekuatan supernya dan bagaimana dia mengembangkan kekuatannya setelah bertemu dengan tim dari laboratorium yang tertarik meneliti orang-orang yang mempunyai kemampuan super seperti The Flash.
Awalnya komentar mereka tidak ada masalah. Tapi lama kelamaan semakin ga jelas. Semakin ga jelas ketika ada yang memasukkan unsur logika ke dalam tv series ini. Menurut saya ini udah salah, tv series macam ini tidak sinkron ketika memasukkan unsur logika.
Semuanya ga akan sinkron kalo ada 2 hal yang berlawanan digabung. Sama halnya menghubungkan agama dengan ilmu pengetahuan. Dua-duanya ga sinkron. Tapi bukan berarti dua-duanya salah. Tapi ada hal yang memang semestinya berdiri sendiri tanpa harus direcokin sama yang lain.
Jika itu fiksi, biarkanlah seperti itu. Jika memang bisa jadi kenyataan thats good. Tapi selama itu masih fiksi, jangan dicampur adukkan logika ke dalamnya. Oke lah kalo kita menggunakan logika untuk menganalisis suatu hal fiksi supaya kita ga keluar dari kenyataan yang ada. Tapi kalo sudah ngotot-ngototan mana yang lebih baik ya semua ga akan pernah selesai. Realita dan Fiksi itu masing-masing punya keunggulan masing-masing.
Raalita selalu identik dengan logika karena kita berpikir berdasarkan kenyataan yang ada. Realita terbatas karena ruang imajinasi yang sempit. Sementara fiksi justru keluar dari kemyataan, fiksi seolah memiliki ruang tidak terbatas untuk berimajinasi dan berkreasi. Semakin liar imajinasi yang dibayangkan semakin menarik. Itu teorinya. Tapi bisa aja realitanya ga begitu.
Ga cuma fiksi kok yang suka diserempetin ke realita, tapi realita kadang-kadang juga suka dicampurin sama fiksi. Contoh yang paling nyata ketika pilpres. Yang pertama saat pilpres berlangsung, dimana banyak sekali berseliwiran di twitter info-info tentang salah 1 pasangan pilpres menggunakan ilmu hitam untuk membuat calon lawannya kalah. Walaupun tidak terlalu dominan kampanye hitam dengan cara seperti ini, namun tentu saja membuat saya tertawa. Yang kedua adalah pasca pilpres, saat sidang gugatan dugaan kecurangan yang sistematis dan masif (kata si penggugat). Di tv ada liputan yang memperlihatkan seorang dukun sedang melakukan ritual supaya si penggugat bisa memenangkan sidang tersebut.
Hal yang bisa kita ambil dari sedikit cerita di atas yang pertama adalah pembuat cerita tentang salah 1 calon memakai ilmu hitam untuk membuat lawannya kalah itu udah kehabisan akal biar bisa bikin itu calon citranya buruk. Dan dia ga bisa liat kenyataan bahwa calon yang dia dukung itu udah kalah dari awal walaupun ga dipakein ilmu hitam. Yang kedua ketika sidang gugatan itu, nunjukkin kalo sebenarnya yang make ilmu hitam itu bukan si pemenang, tapi yang kalah. Dan dia ga bisa nerima kenyataan kalo dirinya emang ga bisa menang dari lawannya. Dia kalah semenjak dia nyalonin diri jadi presiden.
Bukan maksud saya untuk mengungkit masa lalu, namun ini hanya sekadar contoh bahwa realita dan fiksi itu bukan 2 hal yang bisa disatukan dalam hal tertentu. Jadi menurut saya, biarkan yang realita berada di batasnya dan biarkan fiksi berkreasi tanpa batas sesuai keinginan tiap orang. Jangan sampai karena hal ini kita jadi saling mencaci maki dan bermusuhan.
Karena perbedaan ada bukan untuk diperdebatkan.