Baru-baru ini pemerintah lagi gencar-gencarnya menggalakkan kebijakan konversi energi dari bahan bakar fosil ke bahan bakar non fosil. Karena kebijakan ini ga mungkin langsung diaplikasikan serentak, maka ada namanya "transisi energi". Transisi energi singkatnya adalah upaya untuk mengubah penggunaan bahan bakar tak terbarukan menjadi ke bahan bakar terbarukan.
Di gelaran G-20 Bali beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia unjuk gigi dengan memamerkan kendaraan listrik yang digunakan sebagai alat transportasi para delegasi selama berada di sana. Ini salah satu bukti keseriusan pemerintah untuk bisa segera mengkonversi energi di bidang transportasi.
Di sisi masyarakat, pemerintah coba mengatur dengan melemparkan wacana penggantian kompor gas ke kompor listrik. Namun karena menemukan banyak penolakan, terutama masyarakat yang masih kesulitan mendapatkan akses memiliki gas bersubsidi, akhirnya wacana inipun dibatalkan.
Kemudian beberapa waktu lalu juga sempat ada wacana lebih "gila" lagi. Ada gosip yang beredar kalo pemerintah akan menghapuskan listrik rumah tangga 450 W, jadi semuanya minimal 900 W. Wacana ini mendapatkan lebih banyak tentangan dari masyarakat karena sangat memberatkan kelas menengah bawah.
Pemerintah beralasan kalo produksi listrik saat ini mengalami over supply, biar ga terjadi lagi, maka penggunaan listriknya dinaikkan di masyarakat. Masalahnya, yang over supply di pabriknya, yang disuruh ngabisin konsumennya. Kenapa ga pabriknya aja yang disuruh nyari konsumen lain biar tu supply bisa diserap? Aneh juga mikirnya mereka ini. Untungnya wacana ini dibantah oleh Presiden Jokowi langsung melalui konfirmasi video di instagram beliau.
Itu tadi cuman beberapa contoh aja tantangan transisi energi di Indonesia. Mari kita bedah pelan-pelan tantangan apa saja yang akan dihadapi Indonesia ketika akan melakukan transisi energi ini.
1. Sektor Infrastruktur
Hal yang paling kentara ketika melakukan transisi energi di Indonesia sudah pasti infrastrukturnya. Menurut saya, infrastruktur Indonesia masih keteteran ngikutin cepatnya perubahan kebijakan yang dilakukan pemerintah. Contoh paling sederhana adalah ketersediaan infratsuktru jalan. Masih banyak daerah-daerah Indonesia yang bahkan jalannya masih berupa susunan kayu galam. Sangat tidak ramah lingkungan karena cepat sekali membuat ban kendaraan rusak.
Ketika meliat pemerintah mengajak semua masyarakat untuk beralih dari kendaraan fosil ke kendaraan listrik, saya langsung melihatnya dari 2 sisi. Di 1 sisi, ini kebijakan yang baik untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan.
Di sisi lain, kebijakan ini ga akan banyak berpengaruh ke kehidupan jalanan. Apa bedanya mengganti mobil listrik dari mobil BBM saat berada di jalan raya? Ga ada. Jalanan tetap aja akan macet, jalanan tetap aja akan semrawut. Paling bedanya di suara mesinnya doang yang cendrung lebih sepi.
Wacana paling terbaru, dari Menteri Luhut Binsar Pandjaitan dalam sebuah berita bilang, kalo misalnya ada yang mau ganti motor BBM ke motor listrik akan dikasih subsidi 6,5 juta. Saya akui keseriusan pemerintah untuk segera mengkonversi energi ini. Tapi sekali lagi, masih ada hal yang lebih urgent daripada sekadar mengganti kendaraan BBM ke kendaraan listrik.
Satu lagi soal infrastruktur, jangan cuma menambah jalan tol aja, karena itu hanya akan menambah jumlah mobil di jalan raya. Pemerintah juga semestinya memperhitungkan faktor lingkungan yang lebih bersih, misalnya menyediakan alat transportasi yang layak dan berkualitas untuk masyarakat.
2. Sektor Ekonomi (Daya Beli Masyarakat)
Selain itu juga, pemerintah juga perlu memikirkan daya beli masyarakat Indonesia. Mayoritas masyarakat Indo masih berada di kelas rentan dan kelas menengah. Menurut DataBooks, sebanyak 115 juta masyarakat Indonesia bergerak menuju menengah. Kita semua tau, kita juga berada di kelas ini kan? Ngaku aja deh!?
Mayoritas dari kelas ini, Pertalite naik aja udah misuh-misuh setengah mati. Apalagi disuruh konversi ke listrik. Kendaraan listrik. apalagi mobil yang speknya standar, harganya udah sama kayak mobil mewah BBM.
Pemerintah juga harus memikirkan hal ini sebelum menerapkan kebijakan konversi energi. Harga kendaraan yang mahal menunjukkan kalo spare parts nya juga masih jarang ditemukan/digunakan. Perakitannya juga belum tentu ada di Indonesia, ini juga yang menyebabkan harganya jauh lebih mahal daripada kendaraan BBM.
Lebih luas lagi, pemerintah diharapkan bisa menyediakan lapangan kerja lebih banyak lagi ke depannya. Idealnya, pemerintah yang bisa memaksimalkan serapan tenaga kerja di Indonesia agar daya beli masyarakat semakin meningkat.
3. Sektor Transportasi (Utamanya Transportasi Publik)
Isu tranpostasi publik ini menurut saya harusnya diprioritaskan. Karena akan lebih berdampak positif ke lingkungan sekitar kita. Semakin berkualitas dan luas aksesnya, semakin tertarik masyarakat menggunakannya. Kalo semakin banyak masyarakat yang menggunakan transportasi publik, dampaknya bisa sangat bagus.
Dampak positif yang paling terasa tentu saja kemacetan di jalan akan berkurang drastis nantinya. Selain mengurangi kemacetan, tentu konsumsi bahan bakar akan lebih jauh berkurang. Masalahnya, transportasi publik yang berkualitas belum banyak tersedia di Indonesia.
Ambil contoh di Banjarmasin saja, sekarang udah ada bus Banjarbakula, yang terintegrasi dengan 3 kabupaten di sekitar Banjarmasin. Tapi saya ngeliat busnya masih kosong, padahal untuk tarifnya awal-awal masih gratis. Padahal fasilitasnya udah cukup bagus menurut saya. Ada fasilitas Full ac, kursinya empuk, ada cctv juga. Mungkin rutenya yang harus ditambah, bisa masuk ke area yang agak dalam di perumahan gitu misalnya.
Saya sangat mengapresiasi usaha pemerintah untuk bisa menyediakan transportasi publik yang layak. Selanjutnya tugas bersama untuk bisa meyakinkan masyarakat bahwa naik transportasi publik itu jauh lebih mudah, murah dan nyaman.
4. Sektor Sumber Daya Manusia
Kita sama-sama tau kalo Indonesia saat sangat kekurangan orang-orang yang mengerti tentang energi dan teknologi terbarukan. Waktu ikutan online gathering bareng #EcoBloggerSquad 2022, Mas Faris dari Traction Energy Asia bilang kalo saat ini sudah banyak institusi pendidikan yang membuka program studi energi terbarukan.
Kekurangan sumber daya manusia ini yang bikin pertumbuhan inovasi di bidang energi di Indonesia jadi stagnan. Padahal, negara lain udah mulai menggunakan sumber energi yang lebih ramah lingkungan dan juga terbarukan dengan biaya yang lebih murah. Di Jerman bahkan sudah meninggalkan PLTN mereka di akhir 2022 ini.
***
Sebetulnya masih banyak lagi tantangan transisi energi di Indonesia, cuman kalo ditulisin di sini semua nanti dibilang orang yang pesimis. Saya menuliskan beberapa tantangan ini, agar kita semua menyadari bahwa masalah konversi energi ini ga hanya tanggung jawab pemerintah.
Ini semua perlu perhatian kita karena ga mungkin pemerintah jalan sendiri tanpa bantuan masyarakat. Kita sebagai masyarakat juga wajib mengawal kebijakan pemerintah. Jangan cuman iya iya aja tanpa pengawasan. Ntar mereka seenaknya sendiri ngatur kebijakan yang ga pro rakyat.
Intinya, transisi energi ini penting untuk masa depan kehidupan Bumi, khususnya di Indonesia. Saya setuju untuk mulai mengkonversi energi ini mulai dari sekarang. Tapi kebijakan ini juga harus dibarengi dengan penyempurnaan aspek-aspek lain contohnya yang saya sebutin di atas.
Mari kita dukung program positif dari pemerintah ini, dan kita juga kawal kebijakannya agar tetap terarah.